Nama : Septa
Skundarian
NPM : 26212921
Kelas : 4EB12
Ada alasan
mendasar mengapa manejer melakukan menajemen laba. Harga pasar saham suatu
perusahaan secara signifikan dipengaruhi oleh laba, resiko, dan spekulasi. Oleh
sebab itu, perusahaan yang labanya selelu mengalami kenaikan dari period eke periode
secara konsisten akan mengakibatkan risiko perusahaan ini mengaam penurunan
lebih besar dibandingkan prosentase kenaikan laba. Hal inilah mengakibatkan
banyak perusahaan yang melakukan pengelolaan dan pengaturan laba sebagai salah
satu upaya untuk menguragi risiko.
Manajemen laba
dapat dikatakan sebagai perilaku manajer untuk ermain-main dengan komponen
akrual yang discretionary untuk
menentukan besar kecilnya laba, sebab standar akuntansi memang menyediakan
berbagai alternatif metode dan prosedur yang bisa dimanfaatkan. Upaya ini
diakui dan diperbolehkan dalam standar akuntansi selama apa yang diungkapkan
secara jelas dalam laporan keuangan. Meski kewajiban untuk engungkapkan semua
metode dan prosedur akuntansi ini belum mampu untuk mengeliminasi upaya-upaya
curang manajer untuk memaksimalkan keuntungan untuk dirinya sendiri.
A.
CSR (Corporate Social Responsibility)
Motivasi manajemen laba di atas
mengindikasikan secara eksplisit praktik manajemen laba yang disengaja oleh
manajer, yang pada akhirnya membawa konsekuensi negatif terhadap shareholders,
karyawan, komunitas dimana perusahaan beroperasi, masyarakat, karier dan
reputasi manajer yang bersangkutan. Salah satu konsekuensi paling fatal akibat
tindakan manajemen yang memanipulasi laba adalah perusahaan akan kehilangan
dukungan dari para stakeholders-nya. Stakeholder akan memberikan
respon negatif berupa tekanan dari investor,
sanksi dari regulator, ditinggalkan rekan kerja, boikot dari para
aktivis, dan pemberitaan negatif media massa. Tindakan tersebut wujud
ketidakpuasan stakeholders terhadap kinerja perusahaan yang
dimanipulasi, dan pada akhirnya berimbas merusak reputasi perusahaan di pasar
modal.
Oleh karena itu, manajer
menggunakan suatu strategi pertahanan diri (entrenchment strategy) untuk
mengantisipasi ketidakpuasan stakeholder-nya ketika ia melaporkan kinerja
perusahaan yang kurang memuaskan. Strategi pertahanan diri manajer tersebut
sebagai upaya untuk tetap mempertahankan reputasi perusahaan dan melindungi
karier manajer secara pribadi. Salah satu cara yang digunakan manajer sebagai
strategi pertahan diri adalah mengeluarkan kebijakan perusahan tentang
penerapan Corporate Social Responsibility (CSR). CSR berkaitan dengan
persoalan etika dan moral mengenai pembuat keputusan kebijakan dan perilaku,
seperti menempatkan persoalan komplek terhadap penjagaan pelestarian lingkungan,
manajemen sumber daya manusia, kesehatan dan keamanan kerja, hubungan dengan
komunitas lokal, dan menjalin hubungan harmonis dengan pemasok dan pelanggan.
Pengungkapan informasi mengenai perilaku dan hasil berkenaan dengan tanggung
jawab sosial sangat membantu membangun sebuah citra (image) positif
diantara para stakeholders. Citra positif ini dapat membantu perusahaan
untuk mendirikan ikatan komunitas dan membangun reputasi perusahaan di pasar
modal karena dapat meningkatkan kemampuan mereka dalam menegosiasikan kontrak
yang menarik dengan suplier dan pemerintah, menetapkan premium prices
terhadap barang dan jasa, dan mengurangi biaya modal. Melalui
praktik CSR, perusahaan dapat menghasilkan lebih banyak perlakuan yang lebih
menguntungkan berkenaan dengan regulasi, serta mendapatkan dukungan dari
kelompok aktivis sosial, legitimasi dari komunitas industri, dan pemberitaan
positif dari media, yang pada akhirnya reputasi perusahaan tetap terjaga dengan
baik.
Pengungkapan sosial perusahaan didefinisikan sebagai penyediaan
informasi keuangan dan non-keuangan yang berhubungan dengan interaksi
organisasi dengan lingkungan fisik dan sosial, sebagaimana dinyatakan dalam
laporan tahunan atau laporan sosial terpisah. Pengungkapan sosial perusahaan
meliputi rincian dari lingkungan fisik, energi, sumber daya manusia, produk dan
hal-hal yang terkait dengan kemasyarakatan.
The World Business Council for Sustainable Development (WBCSD) mendefinisikan corporate social
responsibility (CSR) atau tanggung jawab sosial perusahaan sebagai komitmen
bisnis untuk memberikan kontribusi bagi pembangunan ekonomi berkelanjutan,
melalui kerjasama dengan para karyawan serta perwakilan mereka, keluarga
mereka, komunitas setempat maupun masyarakat umum untuk meningkatkan kualitas
kehidupan dengan cara yang bermanfaat, baik dari segi bisnis maupun untuk
pembangunan. Konsep CSR melibatkan tanggung jawab kemitraan antara pemerintah,
lembaga masyarakat, serta komunitas lokal yang bersifat statis. Kemitraan ini
sebagai bentuk tanggung jawab bersama secara sosial antara stakeholders.
Beberapa teori yang melatarbelakangi perusahaan untuk melakukan
pengungkapan sosial yaitu:
1). Decision
Usefulness Studies
Teori
ini memasukkan para pengguna laporan akuntansi yang lain selain para investor
ke dalam kriteria dasar pengguna laporan akuntansi sehingga suatu pelaporan
akuntansi dapat berguna untuk pengambilan keputusan ekonomi oleh semua unsur
pengguna laporan tersebut.
2). Economic
Theory Studies
Studi
ini berdasarkan pada economic agency theory. Teori tersebut membedakan
antara pemilik perusahaan dengan pengelola perusahaan dan menyiratkan bahwa
pengelola perusahaan harus memberikan laporan pertanggungjawaban atas segala
sumber daya yang dimiliki dan dikelolanya kepada pemilik perusahaan
3). Sosial
and Political Studies
Sektor ekonomi tidak dapat dipisahkan dari kehidupan
politik, sosial, dan kerangka institusional
tempat ekonomi berada. Studi sosial dan politik mencakup dua teori
utama, yaitu stakeholder theory dan legitimacy theory.
Teori-teori lain yang mendukung praktik CSR yaitu teori
kontrak sosial. Teori tersebut menjelaskan bahwa perusahaan sebagai bagian yang
tidak terpisahkan dari suatu komunitas. Pengungkapan sosial dan lingkungan
dapat secara khusus terdiri dari informasi yang berhubungan dengan kegiatan
perusahaan, aspirasi, dan image publik yang berkaitan dengan lingkungan,
penggunaan karyawan, isu konsumen, energi, kesamaan peluang, perdagangan yang
adil, tata kelola perusahaan dan sejenisnya. Pengungkapan sosial dan lingkungan
juga dapat terjadi melalui berbagai media seperti laporan tahunan, iklan,
kelompok terarah, dewan karyawan, buklet, pendidikan sekolah, dan sebagainya.
B.
GCG (Good Corporate Governance)
International Good Practice
Guidance (IFAC 2009) Corporate governance didefinisikan sebagai
serangkaian praktik dan tanggung jawab yang dilakukan oleh dewan (komisaris)
dan eksekutif manajemen dengan tujuan memberi arahan–arahan yang strategis, memastikan
bahwa tujuan yang diinginkan dapat tercapai,memastikan bahwa semua resiko dapat
dikelola dengan benar, dan memastikan bahwa sumber daya organisasi digunakan
secara bertanggungjawab. Shleifer dan Vishny (1997) menjelaskan bahwa Corporate
Governance adalah suatu cara atau mekanisme yang digunakan untuk
menyakinkan para memilik modal dalam memperoleh imbal hasil yang sesuai dengan
investasi yang ditanamkan.
The Organization for Economic
Corporation and Development (OECD) mengartikan Corporate
Governance adalah sistem yang digunakan untuk mengarahkan dan mengendalikan
kegiatan-kegiatan perusahaan. Corporate Governance berfungsi untuk
mengatur pembagian tugas, hak dan kewajiban mereka yang berperan terhadap
kehidupan perusahaan termasuk para pemegang saham, dewan pengurus, para manajer
dan semua anggota, stakeholder non pemegang saham.
Good
corporate governance merupakan sebuah sistem tata
kelola perusahaan yang berisi seperangkat peraturan yang mengatur hubungan
antara pemegang saham , pengurus (pengelola) perusahaan, pihak kreditur,
pemerintah, karyawan, serta para pemegang kepentingan intern dan ekstern
lainnya dalam kaitannya dengan hak-hak dan kewajiban mereka atau dengan kata
lain, suatu sistem dan struktur yang baik untuk mengelola perusahaan dengan
tujuan untuk meningkatkan nilai pemegang saham serta mengakomodasi berbagai
pihak yang berkepentingan (stakeholder). Apabila mekanisme good
corporate governance tersebut dapat berjalan dengan efektif dan efisien,
maka seluruh proses aktivitas perusahaan akan berjalan dengan baik, sehingga
hal-hal yang berkaitan dengan kinerja perusahaan baik yang sifatnya kinerja
finansial maupun non finansial akan juga turut membaik.
Pada
tahun 1999 Organization for Economic Co-Operation and Development (OECD) telah
mengeluarkan seperangkat prinsip corporate governance yang dikembangkan
seuniversal mungkin. Hal ini mengingat bahwa prinsip ini disusun untuk
digunakan sebagai referensi di berbagai negara yang mempunyai karakteristik
sistem hukum, budaya, dan lingkungan yang berbeda. Dengan demikian, prinsip
yang universal tersebut akan dapat dijadikan pedoman oleh semua negara atau
perusahaan namun diselaraskan dengan sistem hukum, aturan, atau nilai yang
berlaku di negara masing-masing bilamana diperlukan. Prinsip-prinsip corporate
governance yang dikemukakan oleh OECD (2004) yaitu:
1.
Memastikan dasar bagi kerangka corporate
governance yang efektif (Ensuring The Basis for an Effective Corporate
governance Framework).
Kerangka
corporate governance harus meningkatkan pasar yang transparan dan
efisien, konsisten dengan aturan hukum dan secara jelas mengartikulasikan
pembagian kewajiban antara pengawas, regulator dan otoritas pelaksanan yang
berbeda.
2.
Hak-hak pemegang saham dan fungsi
kepemilikan kunci (The Rights of Shareholders and Key Ownership Functions)
Kerangka
corporate governance harus melindungi dan memfasilitasi penggunaan
hak-hak pemegang saham.
3.
Persamaan perlakuan bagi pemegang
saham (The Equitable Treatment of Shareholders)
Kerangka
coprporate governance harus memastikan persamaan perlakuan bagi seluruh
pemegang saham, termasuk pemegang saham minoritas dan asing. Semua pemegang
saham harus memiliki kesempatan untuk memperoleh penggantian kembali secara
efektif atas pelanggaran hak-hak mereka.
4.
Peranan shareholder dalam corporate
governance (The Role of Stakeholders in Corporate governance)
Kerangka
corporate governance harus mengakui hak-hak stakeholder yang ditetapkan
oleh hukum atau melalui mutul agreement dan mendorong kerjasama aktif
antara korporat dan stakeholder dalam menciptakan kemakmuran, pekerjaan, dan
perusahaan yang memiliki sustainable.
5.
Pengungkapan dan transparansi (Disclosure
and Transparency)
Kerangka
corporate governance harus memastikan bahwa pengungkapan yang tepat
waktu dan akurat telah dibuat atas semua hal yang material menyangkut korporat,
termasuk situasi keuangan, kinerja, kepemilikan, dan pengelolaan perusahaan.
6.
Kewajiban dewan (The
Responsibilities of the Board)
Kerangka
corporate governance harus memastikan pedoman strategis perusahaan,
pengawasan yang efektif terhadap manajemen oleh dewan, dan akuntabilitas dewan
kepada perusahaan dan pemegang saham. Prinsip-prinsip dasar good corporate
governance ini diharapkan dapat dijadikan titik acuan bagi para pemerintah
dalam membangun framework bagi penerapan good corporate governance.
Bagi para pelaku usaha dan pasar modal, prinsip-prinsip ini dapat menjadi
pedoman dalam mengelaborasi best practices bagi peningkatan nilai dan
kelangsungan hidup perusahaan. Komite Nasional Kebijakan Governance pada
tahun 2006 telah mengeluarkan Pedoman Umum Good Corporate Governance Indonesia.
Pedoman GCG merupakan panduan bagi perusahaan dalam membangun, melaksanakan dan
mengkomunikasikan praktik GCG kepada pemangku kepentingan. Dalam pedoman
tersebut KNKG (Komite Nasional Kebijakan Governance) memaparkan
azas-azas GCG sebagai berikut :
·
Transparansi
(Transparency)
Untuk
menjaga obyektivitas dalam menjalankan bisnis, perusahaan harus menyediakan
informasi yang material dan relevan dengan cara yang mudah diakses dan dipahami
oleh pemangku kepentingan. Perusahaan harus mengambil inisiatif untuk
mengungkapkan tidak hanya masalah yang disyaratkan oleh peraturan
perundang-undangan, tetapi juga hal yang penting untuk pengambilan keputusan
oleh pemegang saham, kreditur dan pemangku kepentingan lainnya.
·
Akuntabilitas
(Accountability)
Harus
dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya secara transparan dan wajar. Untuk itu
perusahaan harus dikelola secara benar, terukur dan sesuai dengan kepentingan
perusahaan dengan tetap memperhitungkan kepentingan pemegang saham dan pemangku
kepentingan lain. Akuntabilitas merupakan prasyarat yang diperlukan untuk
mencapai kinerja yang berkesinambungan.
·
Responsibilitas
(Responsibility)
Perusahaan
harus mematuhi peraturan perundang-undangan serta melaksanakan tanggung jawab
terhadap masyarakat dan lingkungan sehingga dapat terpelihara kesinambungan
usaha dalam jangka panjang dan mendapat pengakuan sebagai good corporate
citizen.
·
Independensi
(Independency)
Untuk melancarkan pelaksanaan asas GCG, perusahaan
harus dikelola secara independen sehingga masing-masing organ perusahaan tidak
saling mendominasi dan tidak dapat diintervensi oleh pihak lain.
·
Kewajaran
dan Kesetaraan (Fairness)
Melaksanakan
kegiatannya, perusahaan harus senantiasa memperhatikan kepentingan pemegang
saham dan pemangku kepentingan lainnya berdasarkan asas kewajaran dan
kesetaraan.
C.
Asimetris
Informasi
Asimetri
informasi merupakan suatu keadaan dimana manajer memiliki akses informasi atas
prospek perusahaan yang tidak dimiliki oleh pihak luar perusahaan. Teori keagenan mengimplikasikan adanya asimetri informasi
antara manajer (agen) dengan pemilik (prinsipal). Jika kedua kelompok (agen dan
prinsipal) tersebut adalah orang-orang yang berupaya memaksimalkan utilitasnya,
maka terdapat alasan yang kuat untuk meyakini bahwa agen tidak akan selalu
bertindak yang terbaik untuk kepentingan prinsipal. Prinsipal dapat
membatasinya dengan menetapkan insentif yang tepat bagi agen dan melakukan
monitor yang didesain untuk membatasi aktivitas agen yang menyimpang.
Sumber :
Sulistyanto Sri. Manajemen Laba Teori dan Model dan
Empiris. Penerbit: Grasindo
Wulandari
Rahmita, 2013. Analisis Pengaruh Good Corporate Governance dan Leverage terhadap
Manajemen Laba, Jurnal Skripsi
Universitas Diponegoro
Nabar. S., K.K. Boolert, dan
U. Thai. 2007. Earnings management, investor protection, and national culture. Journal of International Accounting Research.