(Ditinjau Dari KUHPerdata)
Retna Gumanti
Pengertian
Perjanjian menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Pengertian
perikatan adalah “ suatu hubungan hukum antara sejumlah subjeksubjek hukum;
sehubungan dengan itu, seorang atau beberapa orang daripadanya mengikatkan
dirinya untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu terhadap pihak lain”
(Zaeni Asyhadie, 2008:22). Dengan pengertian yang demikian, maka dalam suatu
perikatan terkait unsur-unsur sebagai berikut: Pertama, Adanya hubungan hukum.
Hubungan hukum adalah suatu hubungan yang diatur dan diakui oleh hukum.
Hubungan yang diatur oleh hukum biasa disebut dengan perikatan yang lahir
karena undang-undang. Misalnya terikatnya orang tua untuk mendidik dan
memelihara anak-anaknya. Sementara itu, hubungan yang diakui oleh hukum biasa
disebut dengan perikatan karena perjanjian. Dikatakan demmikian karena hubungan
hukum itu telah dibuat oleh para pihak (subjek hukum) sedemikian rupa sehingga
mengikat kedua belah pihak dan berlaku sebagai undang-undang (hukum). Kedua,
Antara seseorang dengan satu atau beberapa orang. Maksudnya adalah perikatan
itu bisa berlaku terhadap seseorang atau dengan satu atau beberapa orang, yang
dalam hal ini adalah para subjek hukum atau para penyandang hak dan kewajiban
yang diberikan oleh hukum. Ketiga, Melakukan atau tidak melakukan dan
memberikan sesuatu. Melakukan atau tidak melakukan sesuatu dan memberikan
sesuatu didalam perikatan disebut dengan prestasi, atau objek dari perikatan.
Subjek hukum dalam melakukan perjanjian bebas menentukan isi dari perjanjian.
Perjanjian
menurut rumusan pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, didefinisikan
sebagai:“suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya
terhadap satu orang atau lebih” (Subekti, 2003: 338). Menurut Subekti
“perjanjian adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau lebih,
berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu dari pihak lain, dan
pihak yang lain tersebut berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu“ (Subekti,
1987:1).
Sedangkan pengertian perjanjian menurut para ahli adalah sebagai
berikut:
1.
Menurut pendapat Sri Soedewi
Masjehoen Sofwan menyebutkan bahwa perjanjin itu adalah “suatu peruatan hukum
dimana seorarng atau lebih mengingatkan dirinya terhadap seorang lain atau
lebih”.
2.
Menurut R wirjono Prodjodikoro
menyebutkan sebagai berikut “suatu perjanjian diartikan sebagai suatu perbuatan
hukum mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak , dalam mana satu pihak
berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal atau untuk tidak
melakukan sesuatu hal, sedangkan pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji
itu”.
3.
A,Qirom Samsudin Meliala bahwa
perjanjian adalah “suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain
atau dimana seorang lain itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal”
(Lena Griswati, 2005: 87)
Syarat-syarat
Sahnya Perjanjian
1.
Kata Sepakat
Kata sepakat didalam perjanjian pada
dasarnya adalah pertemuan atau persesuaian kehendak antara para pihak didalam
perjanjian. Seseorang dikatakan memberikan persetujuannya atau kesepakatannya (Toestemming) jika ia memang menghendaki
apa yang disepakati. Mariam Darus Budrulzaman melukiskan pengertian sepakat
sebagai persyaratan kehendak yang disetujui (Overeenstemande Wilsverklaring) antar para pihakpihak. Pernyataan
pihak yang menawarkan dinamakan tawaran (Offerte).
Pernyataan pihak yang menerima penawaran dinamakan akseptasi (acceptatie). (Khairandy Ridwan,
2004:11). J.Satrio menyebutkan ada beberapa cara mengemukakan kehendak
tersebut, yakni: Pertama, Secara tegas. 1) Dengan akte otentik. 2) Dengan akte
di bawah tangan. Kedua, Secara diam-diam. Sekalipun undang-undang tidak secara
tegas mengatakan, tetapi dari ketentuan-ketentuan yang ada, antara lain pasal
1320 jo Pasal 1338 KUHPerdata, dapat disimpulkan bahwa pada asasnya, kecuali
diterntukan lain, undangundang tidak menentukan cara orang menyatakan kehendak.
Suatu perjanjian dapat mengandung cacat
hukum atau kata sepakat dianggap tidak ada jika terjadi hal-hal yang disebut di
bawah ini, yaitu: Pertama, Paksaan (dwang).
Setiap tindakan yang tidak adil atau ancaman yang menghalangi kebebasan
kehendak para termasuk dalam tindakan pemaksaan. Di dalam hal ini, setiap
perbuatan atau ancaman melanggar undang-undang jika perbuatan tersebut
merupakan penyalahgunaan kewenangan salah satu pihak dengan membuat suatu
ancaman, yaitu setiap ancaman yang bertujuan agar pada akhirnya pihaklain
memberikan hak. Kewenangan ataupun hak istimewanya. Paksaan dapat berupa
kejahatan atau ancaman kejahatan, hukuman penjara atau ancaman hukuman penjara,
penyitaan dan kepemilikan yang tidak sah, atau ancaman penyitaan atau
kepemilikan suatu benda atau tanah yang dilakukan secara tidak sah, dan
tindakan-tindakan lain yang melanggar undang-undang, seperti tekanan ekonomi,
penderitaan fisik dan mental, membuat seseorang dalam keadaan takut, dan
lain-lain. Menurut Sudargo Gautama,
paksaan (duress) adalah setiap
tindakan intimidasi mental. Contohnya adalah ancaman kejahatan fisik dan hal ini dapat dibuat penuntutan
terhadapnya. Jika ancaman kejahatan fisik tersebut merupakan suatu tindakan
yang diperbolehkan oleh hukum maka dalam hal ini ancaman tersebut tidak diberi
sanksi hukum, dan dinyatakan bahwa tidak ada paksaan sama sekali. Selain itu
paksaan juga bisa dikarenakan oleh pemerasan atau keadaan di bawah pengaruh
terhadap seseorang yang mempunyai kalainan mental. Kedua, Penipuan (bedrog). Penipuan (fraud) adalah tindakan tipu muslihat. Menurut Pasal 1328 KUHPerdata
dengan tegas menyatakan bahwa penipuan merupakan alasan pembatalan perjanjian.
Dalam hal ada penipuan, pihak yang ditipu, memang memberikan pernyataan yang
sesuai dengan kehendaknya, tetapi kehendaknya itu, karena adanya daya tipu,
sengaja diarahkan ke suatu yang
bertentangan dengan kehendak yang sebenarnya, yang seandainya tidak ada
penipuan, merupakan tindakan yang benar. Dalam hal penipuan gambaran yang
keliru sengaja ditanamkan oleh pihak yang satu kepada puhak yang lain. Jadi,
elemen penipuan tidak hanya pernyataan yang bohong, melainkan harus ada
serangkain kebohongan (samenweefsel van
verdichtselen), serangkain cerita yang tidak benar, dan setiap
tindakan/sikap yang bersifat menipu. Dengan kata lain, penipuan adalah tindakan
yang bermaksud jahat yang dilakukan oleh satu pihak sebelum perjanjian itu
dibuat. Perjanjian tersebut mempunyai maksud untuk menipu pihak lain dan
membuat menandatangani perjanjian itu. Pernyataan yang salah itu sendiri bukan
merupakan penipuan, tetapi hal ini disertai dengan tindakan yang menipu.
Tindakan penipuan tersebut harus dilakukan oleh atau atas nama pihak dalam
kontrak. Seseorang yang melakukan tindakan tersebut haruslah mempunyai maksud
atau niat untuk menipu. Tindakan itu harus merupakan tindakan yang mempunyai
maksud jahat, contohnya, merubah nomor seri pada sebuah mesin. Kelalaian untuk
menginformasikan pelanggan atas adanya cacat tersembunyi pada suatu benda buka
merupakan penipuan karena hal ini tidak mempunyai maksud jahat dan hanya
merupakan kelalaian belaka. Selain itu, tindakan tersebut haruslahberjalan
secara alami bahwa pihak yang ditipu tidak akan membuat perjanjian melainkan
karena adanya unser penipuan. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa
penipuan terdiri dari 4 (empat) unsur yaitu: (1) merupakan tindakan yang
bermaksud jahat , kecuali untuk kasus kelalaian dalam menginformasikan cacat
tersembunyi pada suatu benda; (2) sebelum perjanjian tersebut dibuat; (3)
dengan niat atau maksud agar pihak lain menandatangani perjanjian; (4) tindakan
yang dilakukan semata-mata hanya dengan maksud jahat. Ketiga, Kesesatan atau
Kekeliruan (dwaling). Dalam hal ini,
salah satu pihak atau beberapa pihak memiliki persepsi yang salah terhadap
objek atau sebjek yang terdapat dalam perjanjian. Ada 2 (dua) macam kekeliruan.
Pertama, error in person, yaitu kekeliruan pada orangnya, misalnya, sebuah
perjanjian yang dibuat dengan artis terkenal tetapi kemudian perjanjian
tersebut dibuat dengan artis yang tidak terkenal hanya karena dia mempunyai
nama yang sama. Kedua, error in subtantia yaitu kekeliruan yang berkaitan
dengan kerakteristik suatu benda, misalnya seseorang yang membeli lukisan
Basuki Abdullah, tetapi setelah sampai di rumah orang itu baru sadar bahwa
lukisan yang di belinya tadi adalah lukisan tiruan dari Basuki Abdullah. Di
dalam kasus yang lain, agar suatu
perjanjian dapat dibatalkan, tahu kurang lebih harus mengetahui bahwa rekannya
telah membuat perjanjian atas dasar
kekeliruan dalam hal mengindentifikasi subjek atau orangnya. Keempat,
Penyalahgunaan keadaan (misbruik van
omstandigheiden). Penyalahgunaan keadaan terjadi manakala seseorang di
dalam suatu perjanjian dipengaruhi oleh suatu hal yang menghalanginya untuk
melakukan penilaian (judgment) yang
bebas dari pihak lainnya, sehingga ia tidak dapat mengambil putusan yang
independen. Penekanan tersebut dapat
dilakukan karena salah satu pihak memiliki kedudukan khusus (misalnya kedudukan
yang dominan atau memiliki yang bersifat fiduciary
dan confidence). Van Dunne menyatakan bahwa penyalahgunaan
keadaan tersebut dapat terjadi karena keunggulan ekonomi maupun karena
kejiwaan.
2.
Kecakapan untuk Mengadakan Perikatan
Syarat sahnya perjanjian yang kedua menurut
Pasal 1320 KUHPerdata adalah kecakapan untuk membuat perikatan (om eene verbintenis aan te gaan). Di
sini terjadi percampuradukan penggunaan istilah perikatan dan perjanjian. Dari
kata “membuat” perikatan dan perjanjian dapat disimpulkan adanya unsur “niat”
(sengaja). Hal yang demikian itu dapat disimpulkan cocok untuk perjanjian yang
merupakan tindakan hukum. Apalagi karena unsur tersebut dicantumkan sebagai
ubsur sahnya perjanjian, maka tidak mungkin tertuju kepada perikatan yang
timbul karena undang-undang. Menurut J. Satrio, istilah yang tepat untuk
menyebut syaratnya perjanjian yang kedua ini adalah : kecakapan untuk membuat
perjanjian.
Pasal 1329 KUHperdata menyatakan bahwa
setiap orang adalah cakap. Kemudian Pasal 1330 menyatakan bahwa ada beberapa
orang tidak cakap untuk membuat perjanjian, yakni: Pertama, orang yang belum
dewasa; Kedua, mereka yang ditaruh di bawah pengampuan; dan Ketiga, orang-orang
perempuan dalam pernikahan, (setelah diundangkannya Undang-undang no 1 tahun
1974 pasal 31 ayat 2 maka perempuan dalam perkawinan dianggap cakap hukum).
Seseorang di katakan belum dewasa menurut
pasal 330 KUHPerdata jika belum mencapai umur 21 tahun. Seseorang dikatakan
dewasa jika telah berumur 21 tahun atau berumur kurang dari 21 tahun, tetapi
telah menikah. Dalam perkembangannya, berdasar Pasal 47 dan 50 UU No. 1 Tahun
1974 kedewasaan seseorang ditentukan bahwa anak berada di bawah kekuasaan orang
tua atau wali sampai umur 18 tahun.
Selanjutnya Mahkamah Agung melalui Putusan
No. 447/Sip/1976 tanggal 13 Oktober 1976 menyatakan bahwa dengan berlakunya UU
No 1 Tahun 1974, maka batas seseorang berada di bawah kekuasaan perwalian
adalah 18 tahun, bukan 21 tahun. Henry R. Cheseemen 37 menjelaskan bahwa di dalam sistim common law,
seseorang dikatakan belum dewasa jika belum berumur 18 tahun (tahun) dan 21
tahun (pria) . dalam perkembangannya, umumnya negara-negara bagia di Amerika
Serikat telah mensepakati bahwa kedewasaan tersebut ditentukan jika seseorang
telah berumur 18 tahun yang
berlaku baik bagi wanita maupun
pria.(Ridwan Khairandy, 2004:23)
Seseorang yang telah dewasa dapat tidak
cakap melakukan perjanjian, jika yang bersangkutan diletakan di bawah
pengampuan (curatele atau conservatorship).
Seseorang dapat diletakan di bawah pengampuan jika yang bersangkutan gila,
dungu (onnoozelheid), mata gelap (razernij), lemah akal (zwakheid van vermogens) atau juga
pemboros. Orang yang demikian itu tidak menggunakan akal sehatnya, dan oleh
karenanya dapat merugikan dirinya sendiri. Seseorang yang telah dinyatakan
pailit juga tidak cakap untuk melakukan perikatan tertentu. Seseorang yang
telah dinyatakan pailit untuk membuat suatu perikatan yang menyangkut harta
kekayaannya. Ia hanya boleh melakukan perikatan yang mengungkapkan budel
pailit, dan itupun harus sepengetahuan kuratornya.
3.
Suatu Hal Tertentu
Syarat sahnya perjanjian yang ketiga adalah
adanya suatu hal tertentu (een bepaald
onderwerp). Pasal 1333 KUHPerdata menentukan bahwa suatu perjanjian harus
mempunyai pokok suatu benda (zaak)
yang paling sedikit dapat ditentukan jenisnya. Suatu perjanjian harus memiliki
objek tertentu. Suatu perjanjian haruslah mengenai suatu hal tertentu (centainty of terms), berarti bahwa apa
yang diperjanjiakan, yakni hak dan kewajiban kedua belah pihak. Barang yang
dimaksudkan dalam perjanjian paling sedikit dapat ditentukan jenisnya.
Istilah barang dimaksud di sini apa yang
dalam bahasa Belanda disebut sebagai
zaak. Zaak dalam bahasa belanda tidak hanya berarti barang dalam arti
sempit, tetapi juga berarti yang lebih luas lagi, yakni pokok persoalan. Oleh
karena itu, objek perjanjian tidak hanya berupa benda, tetapi juga bisa berupa
jasa.
J. Satrio menyimpulkan bahwa yang dimaksud
dengan suatu hal tertentu dalam perjanjian adalah objek prestasi perjanjian.
Isi prestasi tersebut harus tertentu atau paling sedikit dapat ditentukan
jenisnya.
KUHPerdata menentukan bahwa barang yang
dimaksud tidak harus disebutkan, asalkan nanti dapat dihitung atau ditentukan.
Misalnya mengenai perjanjian “panen tembakau dari suatu ladang dalam tahun
berikutnya”adalah sah. Perjanjian jual beli “teh untuk seribu rupiah” tanpa
penjelasan lebih lanjut, harus dianggap tidak cukup jelas.
4.
Kausa Hukum yang Halal
Syarat sahnya perjanjian yang keempat
adalah adanya kausa hukum yang halal. Kata kausa yang diterjemahkan dari kata oorzaak (Belanda) atau causa (Latin)
bukan berarti sesuatu yang menyebabkan seseorang membuat perjanjian, tetapi
mengacu kepada isi dan tujuan perjanjian itu sendiri. Misalnya dalam perjajian
jual beli, isi dan tujuan atau kausanya adalah pihak yang satu menghendaki hak
milik suatu barang, sedangkan pihak lainnya menghendaki uang.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka
apabila seseorang membeli pisau di suatu toko dengan maksud membunuh orang,
maka jual beli tersebut mempunyai kausa yang halal. Apabila maksud membunuh
tersebut dituangkan di dalam perjanjian, misalnya penjual pisau menyatakan
hanya bersedia menjual pisaunya jika pembeli membeli menbunuh orang dengan
pisaunya, disini tidak ada kausa hukum yang halal.
Menurut Pasal 1335 jo 1337 KUHPerdata bahwa
suatu kausa dinyatakan terlarang jika bertentangan dengan undang-undang,
kesusilaan, dan ketertiban umum. Suatu kausa dikatakan bertentangan dengan
undang-undang, jika kausa di dalam perjanjian yang bersangkutan isinya
bertentangan dengan undang-undang, jika kausa di dalam perjanjian yang bersangkutan
isinya bertentangan dengan undang-undang yang berlaku.
Untuk menentukan apakah suatu kausa
perjanjian bertentangan dengan kesusilaan (goede
zeden) bukanlah masalah yang mudah, karena istilah kesusilaan ini sangat
abstrak, yang isinya bisa berbeda-beda antara daerah yang satu dan daerah atau
antara kelompok masyarakat yang satu dan lainnya. Selain itu penilaian orang
terhadap kesusilaan dapat pula berubah-ubah sesuai dengan perkembangan
zaman.
Kausa hukum dalam perjanjian yang terlarang
juga apabila bertentangan ketertiban umum, keamanan Negara, keresahan dalam
masyarakat, dan karenanya dikatakan mengenai masalah ketatanegaraan. Didalam konteks Hukum Perdata International
(HPI), ketertiban umum dapat dimaknai sebagai sendi-sendi atau asas-asas hukum
suatu negara. Kuasa hukum yang halal ini di dalam sistim common law dikenal dengan istilah legaliti yang dikaitkan dengan public policy. Suatu kontrak dapat
menjadi tidak sah (illegal) jika bertentangan dengan public policy. Walaupun sampai sekarang belum ada definisi public policy jika berdampak negatif
pada masyarakat atau menggangu keamanan dan kesejahteraan masyarakat (public’s safety and welfare).( Mariam
Darus Badrulzaman,. 1980: 21)
Daftar
Pustaka
Asyhadie
Zaeni, 2008. Hukum Bisnis. Jakarta:
RajaGrafindo
Badrulzaman, Mariam
Darus. 1980. Perjanjian Baku (Standar),
perkembangannya di Indonesia. Bandung: Alumni.
Griswanti Lena, 2005,
Tesis, Universitas Gadjah Mada, Perlindungan
Hukum Terhadap Penerima Lisensi Dalam Perjanjian
H.S, Salim, 2008. Hukum
Kontrak, Teori & Teknik Penyusunan
Kontrak. Jakarta: Sinar Grafika
Khaerandy, Ridwan. 1992. Aspek-aspek Hukum Franchise dan
keberadaannya dalam hukum Indonesia. Yogyakarta: Majalah Unisa, UII
----2004, Hukum Alih Teknologi,
Modul II, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.
Mertokusumo,
Sudikno. 1999, Hukum Acara Perdata,
Yogyakarta: Liberty
Muhammad Abdul Kadir. 1986. Hukum
Perjanjian, Bandung: Alumni Subekti, R. 1984. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: Intermasa.
Subekti dan Tjitrosudibio. 2003. Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta: Pradnya Paramita.
Nama Kelompok :
1. Kartika Ratna Sari W (24212934)
2. Septa Skundarian (26212921)
3. Shintya Permatasari ( 26212989)