KONSEP
IDEAL PENERAPAN
HUKUM PERJANJIAN
PADA BANK SYARIAH
DI INDONESIA
Oleh:
Abdurrahman
Konoras
Fakultas Hukum
Universitas Sam Ratulangi
E-mail:
rianto_maluegha@yahoo.com
Hukum Islam dan Pembangunan di Indonesia
Hukum adat, hukum Islam, dan hukum Barat
merupakan tiga sistem hukum yang
menjadi komponen utama dalam pembentukan
hukum nasional. Hukum adat sesungguhnya diperkenalkan pertamakali justru oleh para ahli hukum bangsa
Belanda seperti Snouck Hurgronje dan Van
Vollen Hoven, yang di antara tujuannya waktu itu adalah untuk menggusur eksistensi hukum Islam di dalam kehidupan
masyarakat. Namun, hukum adat sekarang dilihat segi positifnya sebagai
kesadaran hukum yang hidup dalam masyarakat. Adapun hukum Barat (Belanda) yang
hingga kini masih terus diberlakukan antara lain adalah Burgelijk
Weiboek (KUH Perdata), Wetboek van Kophandel
(KUHD), dan Wetboek van Straafrecht (KUH Pidana). Meskipun sudah ada perubahan, namun sebagian besar
isinya masih tetap berlaku.
Lapangan hukum di Indonesia
meliputi Hukum Tata Negara, Hukum Administrasi
Negara, Hukum Perdata, Hukum Dagang, Hukum Pidana (Sipil dan
Militer), dan Hukum Acara (Pidana dan Perdata). Sebagai negara kesatuan,
idealnya Indonesia memiliki satu
hukum nasional (unifikasi hukum).
Di dalam
bidang-bidang tertentu yang sifatnya netral, barangkali lebih mudah dilakukan unifikasi
hukum seperti dalam
bidang perdagangan, perbankan,
dan pidana. Akan tetapi,
terhadap nilai-nilai hidup
seperti agama, adat, dan budaya, masih diragukan apakah dapat dilakukan unifikasi hukum dalam waktu singkat.
Oleh karena itu, dalam lapangan hukum perdata,
misalnya masih berlaku pluralisme hukum. "Ketidakseragaman hukum perdata
ini disebabkan banyaknya golongan penduduk
di Indonesia yang masing-masingnya memiliki kebutuhan hukum perdata yang
berbeda. Namun, ada beberapa bagian dari hukum perdata
yang telah berhasil dilakukan unifikasi,
seperti Undang-Undang Perkawinan."
Politik hukum Indonesia yang berdasarkan
Pancasila menghendaki berkembangnya kehidupan
beragama dan hukum agama dalam kehidupan hukum nasional. Hukum nasional yang
dikehendaki oleh negara adalah hukum yang menampung dan memasukkan hukum agama, dan tidak memuat norma hukum yang
bertentangan dengan hukum agama. Dalam melihat peranan hukum Islam dalam pembangunan hukum nasional, ada
beberapa fenomena yang bisa dijumpai dalam
praktek. Pertama, hukum Islam berperan dalam mengisi kekosongan hukum dalam hukum positif.
Dalam hal ini hukum Islam diberlakukan oleh negara sebagai hukum positif bagi umat
Islam. Kedua, hukum Islam berperan sebagai sumber nilai yang memberikan kontribusi
terhadap aturan hukum yang dibuat. Oleh karena aturan hukum tersebut bersifat
uraum, tidak memandang perbedaan agama, maka nilai-nilai hukum Islam dapat berlaku pula bagi seluruh
warga negara.
Hukum Perjanjian Islam
Perjanjian
dalam hukum Islam disebut dengan akad yang dalam bahasaArab diistilahkan dengan Mu'ahadah Ittifa. Al-Qur'an dan Hadits secara rinci
memang tidak membahas tentang perjanjian atau akad, Namun banyak kata yang
terkandung dalam Al-Qur'an dan Hadits yang
menyebutkan tentang perjanjian atau akad. Dengan demikian para Ilmuwan dan Fukaha (ahli Hukum) memberikan pengertian dan
definisi perjanjian atau akad, antara lain
sebagai berikut:
Menurut Abdullah
al-Muslih, secara terminologi, akad atau perjanjian digunakan untuk
banyak arti, yang kesemuanya kembali kepada
bentuk ikatan atau perhubungan terhadap dua hal. Sementara, akad menururt istilah adalah keterikatan keinginan
diri dengan keinginan
orang lain dengan cara yang memunculkan
adanya komitmen tertentu yang disyariatkan.
Pendapat tersebut
di atas menerangkan bahwa secara terminologi akad atau perjanjian
mempunyai arti yang sangat luas, Dengan demikian akad atau
perjanjian adalah segala bentuk-bentuk ikatan, Sementara akad menurut istilah
adalah keterikatan keinginan diri dengan keinginan orang lain yang saling
bertemu dan tunduk pada sesuatu yang mereka saling
perjanjikan yang disyariatkan.
Menurut Hendi Suhendi, akad adalah
bagian dari macam-macam tasharuf, yang
dimaksud dengan Tasharuf ialah segala
yang keluar dari seorang manusia dengan kehendaknya dan Syara'
menetapkan kehendaknya.
Sedangkan jika didasarkan
pengertian akad menurut bahasa, mempunyai beberapa
makna, antara lain:18
a. Mengikat (Abdu),
Yaitu mengumpulkan dua ujung tali dan mengikat salah satunya
dengan yang lain sehingga bersambung,
Kemudian keduanya menjadi sepotong benda. Istilah Abdu dalam Al-Qur'an mengacu
pada pernyataan seseorang untuk mengerjakan sesuatu atau tidak mengerjakan sesuatu dan tidak ada sangkut
pautnya dengan orang lain, Perjanjian yang
dibuat oleh orang tersebut. Seperti yang dijelaskan dalam surah Al Imran : 76, Bahwa janji tetap mengikat bagi orang
yang membuatnya.
b. Sambungan (Aqdu),
Yaitu sambungan yang memegang kedua ujung itu dan
mengikatnya. Kata aqdu mengacu pada
terjadinya dua perjanjian atau lebih yaitu bila seseorang mengadakan janji, Kemudian orang lain yang menyetujui
janji tersebut serta menyatakan pula suatu
janji yang berhubungan dengan jani yang pertama, maka terjadilah perikatan,maka apabila ada dua buah
janji (aqdu) dari dua orang yang mempunyai hubungan antara satu dengan lainnya disebut perikatan (akad).
c.
Janji (Ahudu ), Sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur'an yang artinya:
"Siapa saja menepati janjinya dan takut
kepada Allah, Sesungguhnya Allah mengasihi
orang-orang yang taqwa". (Qs. Ali Imran: 76). "Hai orang-orang yang beriman
tepatilah janji-janjimu". (Qs. Al maidah: 1)
Maksud ayat-ayat tersebut agar orang-orang yang melakukan
perjanjian agar tunduk dan patuh menepati janji-janji yang mereka buat dalam
artian bahwa apabila mereka tidak menepati
janji maka mendapat sanksi berupa pertanggung jawaban baik dari sesama mereka yang
membuat perjanjian maupun pertanggungjawaban kepada Allah.
Suatu perikatan antara Ijab dan Kabul dengan
cara yang dibenarkan oleh Syara' yang menetapkan adanya akibat-akibat
hukum pada objeknya. Ijab adalah pernyataan pihak pertama mengenai isi perikatan yang
diinginkan, Sedangkan Kabukl adalah pernyataan pihak kedua untuk menerimanya.
Dari pengertian tersebut dapat dikatakan
bahwa perjanjian adalah bertemunya penawaran (Ijab) dan penerimaan (Kabul) atau kedua belah pihak
telah sepakat tentang objek yang diperjanjikan
dan mempunyai akibat hokum yaitu timbulnya hak dan kewajiban dari masing- masingpihak secara sukarela untuk melaksanakan apa
yang telah mereka perjanjikan.
Pengertian tentang perjanjian (akad) juga
diberikan oleh sumber lainnya, sebagaimana yang dikemukakan Pramudya Puspa,21 bahwa: Perjanjian atau Akad adalah perbuatan
seseorang atau lebih dalam mengikatkan dirinya
terhadap orang lain.
Yang dimaksud dengan "Perbuatan" di
sini adalah perbuatan hukum,yang dibagi dalam 2 bentuk, yaitu:
1. Perbuatan Hukum sepihak yaitu perbuatan
hukum yang dilakukan dua pihak dan
menimbulkan hak dan kewajiban pada pihak
lainnya, seperti:
a. Pembuatan surat wasiat
b. Pemberian hadiah
c. Hibah.
2. Perbuatan hukum dua pihak yaitu perbuatan
hukum yang dilakukan dua pihak dan
menimbulkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban bagi kedua belah pihak
secara timbal
balik, misalnya:
a. Jual beli.
b. Sewa menyewa.
c. Perjanjian kerja.
As-Sanhury mengemukakan bahwa pengertian
Akad menurut istilah Fuqaha ialah:
Perikatan antara Ijab dan Qabul secara yang dibenarkan syara'
yang menetapkan
keridhaan kedua pihak (sukarela).
Dari pendapat-pendapat tersebut di atas dapat
dilihat unsur-unsur yang terdapat dalam
akad adalah :
a. Adanya subjek yaitu satu orang atau lebih;
b. Adanya objek yang diperjanjikan yang
didasarkan syariat;
c. Adanya kehendak atau pernyataan baik
satu pihak dan atau dua pihak yang saling bertemu (Ijab Qabul) menetapkan keridhaan yang
mempunyai akibat hukum.
Bank Syariah
Pengertian Bank Syariah
Menurut Dahlan
Siamat, Bank Islam atau lazimnya disebut Bank Syariah adalah bank
yang melakukan kegiatan operasionalnya sesuai
dengan prinsip syariah yaitu Al-Qur'an dan Al-Hadist.
Warkum Sumitro, menyatakan bahwa Bank Islam
berarti:
Bank yang tata cara beroperasinya didasarkan
pada tata cara bermuamalah secara Islam,
yakni dengan mengacu kepada
ketentuan-ketentuan Al-Qur'an dan Al-Hadist. Dimana dalam operasionalnya bank Islam harus
berpedoman kepada bentuk-bentuk usaha yang tidak dilarang oleh Rasulullah atau
bentuk-bentuk usaha baru sebagai hasil ijtihad para ulama atau cendikiawan muslim yang tidak
menyimpang dari ketentuan Al-Quran dan Al-Hadist.
Selanjutnya M. Amin Azis, menyatakan bahwa yang dimaksud dengan
Bank Islam (bank berdasarkan Syariah Islam)
adalah:
Lembaga perbankan yang menggunakan sistem dan
menjalankan operasionalnya
berdasarkan syariah Islam dan dalam
operasionalnya, Bank Islam menggunakan sistem bagi hasil dan imbalan lainnya yang sesuai dengan syariah
Islam serta tidak menggunakan bunga.
Sedangkan Cholil Uman, menyatakan Bank Islam
adalah:
Sebuah lembaga keuangan yang menjalankan
operasinya menurut hukum Islam yang
tidak menggunakan sistem bunga, karena bunga
dilarang dalam Islam.
Dari beberapa pengertian Bank Islam yang
dikemukakan oleh para ahli di atas, maka
dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan Bank Islam atau Bank
Syariah adalah badan usaha yang fungsinya sebagai penghimpun dana dari
masyarakat dan penyalur dana kepada
masyarakat yang sistem dan mekanisme kegiatan usahanya berdasarkan hukum Islam sebagaimana diatur dalam Al-Qur'an dan Al-Hadist.
Pada Bank Islam umumnya dibentuk suatu
lembaga pengawas yang bertugas dan memiliki kewenangan untuk memastikan kesesuaian antara produk, jasa, dan kegiatan usaha
bank Islam tersebut agar tidak berlawanan dengan Al-Quran dan Al-Hadist. Lembaga inilah yang akan memberikan
fatwa kepada bank yang bersangkutan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Manan, 2006, Reformasi Hukum Islam
di Indonesia, ctk. Pertama., PT. Raja Grafindo
Persada,
Jakarta
Chaeruman Pasaribu dan Suhrawadi K. Lubis, 1993, Hukum
Perjanjian dalam Islam, PT.
Sinar
Grafika, Jakarta.
Gemala Dewi, et.al, 2005, Hukum Perikatan
Islam di Indonesia,. PT. Prenada Media
(Kencana)
dan Badan Penerbit FH-UI.
_____________, 2004, Aspek-Aspek Hukum
dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah
di
Indonesia,
Kencana, Jakarta.
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam, 1999,
Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Islam
Di
Indonesia, ctk.
Ketujuh, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta
Muhammad
Syafi'I Antonio, 2001, Bank Syariah dari Teori ke Praktek, Gema
Insani,
Jakarta.
Rachmadi, 2002, Aspek-Aspek Hukum
Perbankan Islam di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung.
Suhrawadi K. Lubis, Hukum Ekonomi Islam,
Sinar Grafika, Jakarta.
Sutarno, 2004, Aspek-Aspek Hukum
Perkreditan Pada Bank, Alfabeta, Bandung.
Tim Pengembangan Perbankan Syariah Institut Bankir Indonesia,
Konsep, Produk, Dan
Implementasi
Operasional Bank Syariah, Djambatan, Jakarta.
Nama Kelompok :
1. Kartika Ratna Sari W (24212934)
2. Septa Skundarian (26212921)
3. Shintya Permatasari ( 26212989)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar