ASPEK HUKUM PERJANJIAN ASURANSI PENUMPANG DALAM
PENGANGKUTAN
UDARA
(Studi
Pada PT Asuransi Jasa Raharja Cabang Medan)
SHERLY
NOVITASARI SEMBIRING
Perjanjian Asuransi Angkutan Udara
Pada dasarnya terdapat tiga langkah dalam manajemen
risiko, yaitu :
1. Menemukan
sumber risiko, hal ini mengandung arti dilakukan penelitian atau kontrol terhadap hal-hal yang menyebabkan
terjadinya risiko tersebut.
2. Menilai
dampaknya terhadap orang atau organisasi yang bersangkutan, jika suatu kerugian
terjadi. Kemudian, diadakan suatu penilaian sampai berapa besar akibat dari risiko tersebut apabila menjadi
kenyataan yaitu suatu kerugian.
3.
Memilih teknik atau
cara yang dianggap paling sesuai dalam menanggulangi risiko tersebut, setelah mengkaji hasil dari dua langkah sebelumnya.
Mehr,
menjelaskan tentang mengelola risiko dengan cara pengalihan risiko kepada pihak lain, yaitu dengan cara :
1. Hedging,
yaitu menjual dengan menetapkan suatu harga tertentu saat ini untuk menghindari
kerugian di masa datang jika terjadi penurunan harga. Di lain pihak, tindakan ini mempunyai risiko hilangnya kesempatan untuk
memperoleh keuntungan lebih tinggi
jika ternyata harga itu naik.
2. Subcontracting,
misalnya kontraktor gedung memberikan bagian pekerjaan tertentu kepada sub kontraktor yang ahli dalam
pekerjaan tersebut dan memindahkan risiko
kegagalan bagian tersebut kepada sub kontraktor
itu.
3. Hold Harmless Agreements, yaitu perjanjian yang menyebabkan berpindahnya risiko tanggung jawab (liabilities).
4. Surety Bonding, yaitu perjanjian antara tiga pihak. Pihak pertama yaitu perusahaan yang diikat (bonding) yang disebut
surety. Pihak kedua adalah perusahaan pelaku yang
bertanggung jawab terhadap penyelesaian suatu pekerjaan,
yang disebut principal. Pihak terakhir adalah pihak yang menyuruh principal untuk melakukan suatu
pekerjaan, yaitu oblige. Dalamperjanjian ini,
pihak surety bertanggung jawab terhadap semua kelalaian pihak
principal. Artinya, setiap kerugian pihak oblige akibat kesalahan pihak principal akan dibayar oleh
surety.
5. Insurance, adalah metode paling umum dalam memindahkan risiko. Dengan
membeli asuransi, maka tertanggung memindahkan konsekuensi finansial atas kerugian kepada penanggung.
Di
Indonesia, asuransi penerbangan secara yuridis pertama kali diatur dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1964 Tentang Dana
Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang, disusul dengan Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 1992 Tentang Penerbangan yang
sudah mengalami perubahan menjadi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009
Tentang Penerbangan, Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pelaksanaan Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 28
Tahun 1965.16
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1964 Tentang Dana
Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang, telah mengeluarkan ketentuan tentang
sistem jaminan sosial (social security)
terhadap penumpang pesawat udara yang mengalami kecelakaan yang biasa
disebut dengan asuransi Jasa Raharja. Setiap penumpang pesawat udara diwajibkan membayar iuran melalui perusahaan penerbangan
yang mengalami kecelakaan untuk menutup kerugian yang diderita karena
kematian dan cacat tetap akibat kecelakaan
pesawat udara, hal ini terdapat di dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1964 Tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang. Dalam penjelasannya,
dikatakan bahwa semakin meningkatnya kemajuan teknik yang modern dalam
penghidupan manusia, maka akan semakin
meningkat juga risiko yang dihadapi dalam angkutan yang
menyebabkan kecelakaan
pesawat udara, karena itu masyarakat perlu
perlindungan. Mengingat keadaan ekonomi dan keuangan
negara belum mengizinkan, maka
jaminan sosial perlu diusahakan secara gotong royong melalui dana yang
terhimpun dari iuran wajib yang dikenakan kepada penumpang pesawat udara.
Sebagai peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang
Nomor 33 Tahun 1964, maka telah dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun
1965 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pelaksanaan
Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang. Berdasarkan Pasal 2
Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965, setiap
penumpang pesawat udara nasional diwajibkan membayar iuran wajib dana kecelakaan
penumpang yang dibayarkan bersama-sama pada saat pembayaran tiket penumpang,
dan nantinya iuran wajib tersebut akan disetorkan kepada PT Asuransi Jasa
Raharja setiap bulannya. Tidak ada penjualan tiket pesawat udara tanpa adanya pembayaran iuran wajib dana
kecelakaan penumpang pesawat udara. Dengan demikian, setiap penumpang
pesawat udara yang sudah memiliki tiket, secara
otomatis sudah termasuk membayar asuransi wajib dana kecelakaan pesawat
udara.
Pelaksanaan Perjanjian Asuransi Penumpang Dalam
Pengangkutan Udara Pada
PT Aasuransi Jasa Raharja Cabang Medan
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 33
Tahun 1964 menjelaskan
bahwa hubungan hukum pertanggungan wajib kecelakaan penumpang tercipta antara
pembayar iuran dan penguasa dana. Berdasarkan hal ini, dapat dipahami dari segi
hukum asuransi bahwa, penguasa dana
berkedudukan sebagai penanggung dan pembayar iuran berkedudukan sebagai
tertanggung. Penguasa dana sebagai penanggung memiliki
tanggung jawab dalam bentuk memikul risiko kecelakaan yang mungkin dialami oleh pembayar iuran sebagai tertanggung.
Penguasa dana sebagai penanggung ditentukan dalam Pasal 1 huruf e dan huruf f
pada Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965 Tentang
Ketentuan-Ketentuan Pelaksanaan Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang.
Menurut ketentuan pasal tersebut,
pertanggungan adalah hubungan hukum antara penanggung, yaitu Perusahaan Negara (menurut Undang-Undang Nomor 19
Prp Tahun 1960 Tentang Perusahaan
Negara), khusus yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk itu, yang bernama
PT Asuransi Jasa Raharja, dan dengan penumpang alat angkutan umum yang sah (tertanggung).
Pembayar iuran sebagai tertanggung
diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 33
Tahun 1964 Tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang, yang menentukan bahwa setiap penumpang
yang sah dari kendaraan bermotor
umum, kereta api, pesawat terbang perusahaan nasional, dan kapal perusahaan perkapalan/pelayaran nasional, wajib
membayar iuran melalui pengusaha/pemilik perusahaan yang bersangkutan untuk
menutup akibat keuangan disebabkan
kecelakaan penumpang dalam perjalanan. Akan tetapi, penumpang kendaraan
bermotor umum dalam kota dibebaskan dari pembayaran iuran wajib.
Kendaraan bermotor umum adalah
setiap kendaraan yang digerakan oleh mesin, yang digunakan untuk mengangkut
barang dan/atau orang, dengan memungut
bayaran terhadap orang yang menggunakannya. Berdasarkan ketentuan ini, sudah jelas bahwa yang berkedudukan sebagai
tertanggung adalah setiap penumpang yang sah, yang wajib membayar iuran
melalui perusahaan angkutan yang
bersangkutan, kecuali penumpang angkutan dalam kota.
Pasal 11 Peraturan Pemerintah Nomor
17 Tahun 1965 Tentang Ketentuan- Ketentuan
Pelaksanaan Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang menentukan bahwa besarnya pembayaran ganti
kerugian pertanggungan dalam hal kematian,
cacat tetap, maksimum penggantian biaya-biaya perawatan dan pengobatan
dokter serta penggantian biaya penguburan, ditentukan oleh Menteri Keuangan.
Dalam Pasal 10 ayat 3 Peraturan Pemerintah Nomor 17
Tahun 1965 Tentang Ketentuan-Ketentuan
Pelaksanaan Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang, hanya menjelaskan tentang besarnya jumlah ganti rugi secara persentase saja. Jadi, dapat ditarik kesimpulan
bahwa ketentuan pemberian jumlah ganti rugi dalam Peraturan Pemerintah Nomor 17
Tahun 1965 Tentang Ketentuan- Ketentuan
Pelaksanaan Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang masih belum konkret atau masih belum secara jelas
diterangkan.
Namun, dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 40 Tahun 1995 Tentang Angkutan Udara, besarnya jumlah ganti rugi yang akan
diberikan kepada penumpang angkutan udara, sudah
secara jelas tertulis berapa besar rupiahnya. Hal ini dapat kita lihat di dalam
Pasal 43 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1995
Tentang Angkutan Udara.
Menurut Pasal 16 Peraturan
Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965, jangka waktu tuntutan ganti kerugian pertanggungan yang diperbolehkan
untuk diajukan kepada PT Asuransi Jasa Raharja setempat dengan atau tanpa
perantaraan pengusaha atau pemilik
alat angkutan penumpang umum yang bersangkutan adalah 6 (enam) bulan
sesudah terjadi kecelakaan. Untuk pembuktian keabsahan suatu tuntutan ganti kerugian
pertanggungan, wajib diserahkan surat-surat bukti, sebagaimana
yang telah ditentukan dalam Pasal 17 berikut ini :
a. Dalam hal kematian:
1. Proses verbal polisi lalu lintas atau lain yang berwenang
tentang kecelakaan yang
telah terjadi dengan alat angkutan umum yang bersangkutan, yang mengakibatkan kematian pewaris
penuntut.
2. Keputusan
hakim atau pihak berwajib lain yang berwenang tentang pewarisan yang bersangkutan.
3. Surat-surat keterangan dokter dan bukti lain yang
dianggap perlu untuk pengesahan
fakta kematian yang terjadi.
b. Dalam hal cacat tetap atau cedera:
1. Proses verbal polisi lalu lintas atau lain yang berwenang
tentang kecelakaan yang
telah terjadi dengan alat angkutan penumpang umum yang bersangkutan, yang cacat/cedera pada penuntut.
2. Surat
keterangan dokter tentang jenis cacat tetap/cedera yang telah terjadi sebagai akibat kecelakaan tersebut.
3. Surat bukti lain yang dianggap perlu untuk pengesahan
fakta cacat tetap/cedera yang
terjadi.
Apabila penanggung (Direksi PT Asuransi Jasa Raharja)
telah memperoleh keyakinan tentang keabsahan
tuntutan secara lain dari yang disebutkan di atas, pembayaran ganti kerugian pertanggungan dapat pula dilakukan berdasarkan
surat-surat bukti dan kenyataan-kenyataan lain (Pasal 17 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965). Setelah
pembayaran ganti kerugian dilaksanakan, penanggung (Direksi PT Asuransi
Jasa Raharja) tidak mempunyai kewajiban apa pun lagi untuk melakukan pembayaran
selanjutnya (Pasal 18 ayat (3) Peraturan
Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965). Dengan kata lain, asurans sosial kecelakaan penumpang sudah berakhir.
Tidak semua ganti kerugian atas suatu pertanggungan akan diberikan, adakalanya hak atas ganti kerugian pertanggungan menjadi
gugur, apabila :
1. Tuntutan
pembayaran ganti kerugian pertanggungan tidak diajukan dalam waktu enam bulan setelah terjadinya kecelakaan
yang bersangkutan;
2. Tidak diajukan gugatan terhadap PT Asuransi Jasa Raharja
pada pengadilan perdata yang berwenang dalam
waktu enam bulan, sesudah tuntutan pembayaran ganti kerugian pertanggungan
ditolak secara tertulis oleh Direksi;
3.
Hak atas ganti kerugian
pertanggungan tidak direalisasikan dengan suatu penagihan kepada PT Asuransi Jasa Raharja atau kepada instansi pemerintah
atau pihak lain yang ditunjuk, dalam waktu tiga bulan setelah hak tersebut diakui ditetapkan atau disahkan.
Pada dasarnya, pihak PT Jasa
Raharja cabang Medan tidak pernah melakukan penolakan
klaim santunan penumpang angkutan udara terhadap kecelakaan yang terjadi, apabila hal tersebut telah memenuhi
ketentuan yang telah berlaku. Namun, adakalanya pihak PT Jasa Raharja
juga berhak untuk menolak pembayaran ganti kerugian pertanggungan, selama
tertanggung belum cukup membuktikan dirinya sebagai pihak yang berhak atas
pemberian ganti kerugian tersebut, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. PT
Jasa Raharja juga dapat menolak pembayaran ganti kerugian pertanggungan,
apabila risiko yang terjadi merupakan salah satu dari risiko-risiko yang
dikecualikan dalam peraturan perundang-undangan untuk dapat menerima pembayaran santunan ganti kerugian.
Atas dasar perjanjian manifest dan atas dasar
kebijaksanaan serta rasa duka dari PT Jasa Raharja, maka PT Jasa Raharja tidak
hanya memberikan santunan ganti rugi kepada pihak yang memiliki tiket sah atas
namanya sendiri, melainkan juga kepada pihak yang memiliki tiket sah bukan atas
namanya sendiri juga akan mendapatkan
santunan ganti rugi dari pihak PT Jasa Raharja. Penumpang angkutan udara yang memakai tiket atas nama orang
lain untuk melakukan perjalanan
dengan angkutan penerbangan disebut dengan Pax Manifest. Berdasarkan
hal di atas, maka dapat disimpulkan bahwa perbedaan nama antara yang terdapat pada Kartu Tanda Penduduk dengan yang
terdapat pada tiket penumpang angkutan udara, tidak
mempunyai pengaruh terhadap asuransi yang akan diberikan oleh PT Jasa Raharja,
tetapi hanya mempunyai pengaruh pada proses check-in yang dilakukan di
dalam bandara, karena petugas bandara akan menyesuaikan antara nama penumpang
yang tertera di Kartu Pengenal dengan nama penumpang
yang tertera di tiket.
DAFTAR PUSTAKA
Buku-Buku
Ali, A. Hasymi. 2005. Pengantar Asuransi.
Jakarta: Bumi Aksara.
Amirudin dan H. Zainal Asikin. 2004. Pengantar Metode
Penelitian Hukum.
Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada.
Arsyad, Nurhaida. 2002. Asuransi Kecelakaan di
Indonesia. Medan: Akademi
Keuangan dan
Perbankan "PERBANAS" (A.K.P. "PERBANAS").
Martono, H.K. dan Amad Sudiro. 2011. Hukum
Angkutan Udara Berdasarkan
UU RI No. 1
Tahun 2009. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada.
Muhammad, Abdulkadir. 2003. Hukum Asuransi
Indonesia. Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti.
PT Asuransi Jasa Raharja. 2011.
Kumpulan Undang-Undang Jasa Raharja.
Jakarta: PT
Asuransi Jasa Raharja.
Purba, Radiks. 2009. Mengenal Asuransi Angkutan
Darat dan Udara. Jakarta:
Djambatan.
Rastuti, Tuti. 2011. Aspek
Hukum Perjanjian Asuransi. Yogyakarta: Pustaka
Yustisia.
Sastrawidjaja, Man Suparman. 2006. Aspek-Aspek
Hukum Asuransi, dan Surat
Berharga. Bandung: P.T. Alumni.
Satria, Salusra. 2003.
Pengukuran Kinerja Keuangan Perusahaan Asuransi
Kerugian
di Indonesia Dengan Analisis Rasio Keuangan "Early Warning System". Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia.
Peraturan Perundang-undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang
Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2009 Tentang Penerbangan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun
1992 Tentang Usaha Perasuransian
Undang-Undang Nomor
33 Tahun 1964 Tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan
Penumpang
Nama Kelompok :
1. Kartika Ratna Sari W (24212934)
2. Septa Skundarian (26212921)
3. Shintya Permatasari ( 26212989)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar