Senin, 05 Mei 2014

Tugas Softskills Post 3 : Jurnal Hukum Perjanjian



ASPEK HUKUM PERJANJIAN ASURANSI PENUMPANG DALAM
PENGANGKUTAN UDARA

(Studi Pada PT Asuransi Jasa Raharja Cabang Medan)
SHERLY NOVITASARI SEMBIRING
Perjanjian Asuransi Angkutan Udara

Pada dasarnya terdapat tiga langkah dalam manajemen risiko, yaitu :
1.    Menemukan sumber risiko, hal ini mengandung arti dilakukan penelitian atau kontrol terhadap hal-hal yang menyebabkan terjadinya risiko tersebut.
2.    Menilai dampaknya terhadap orang atau organisasi yang bersangkutan, jika suatu kerugian terjadi. Kemudian, diadakan suatu penilaian sampai berapa besar akibat dari risiko tersebut apabila menjadi kenyataan yaitu suatu kerugian.
3.    Memilih teknik atau cara yang dianggap paling sesuai dalam menanggulangi risiko tersebut, setelah mengkaji hasil dari dua langkah sebelumnya.

Mehr, menjelaskan tentang mengelola risiko dengan cara pengalihan risiko kepada pihak lain, yaitu dengan cara :
1.    Hedging, yaitu menjual dengan menetapkan suatu harga tertentu saat ini untuk menghindari kerugian di masa datang jika terjadi penurunan harga. Di lain pihak, tindakan ini mempunyai risiko hilangnya kesempatan untuk memperoleh keuntungan lebih tinggi jika ternyata harga itu naik.
2.    Subcontracting,      misalnya            kontraktor       gedung memberikan       bagian pekerjaan tertentu kepada sub kontraktor yang ahli dalam pekerjaan tersebut dan memindahkan risiko kegagalan bagian tersebut kepada sub kontraktor itu.
3.    Hold Harmless Agreements, yaitu perjanjian yang menyebabkan berpindahnya risiko tanggung jawab (liabilities).
4.    Surety Bonding, yaitu perjanjian antara tiga pihak. Pihak pertama yaitu perusahaan yang diikat (bonding) yang disebut surety. Pihak kedua adalah perusahaan pelaku yang bertanggung jawab terhadap penyelesaian suatu pekerjaan, yang disebut principal. Pihak terakhir adalah pihak yang menyuruh principal untuk melakukan suatu pekerjaan, yaitu oblige. Dalamperjanjian ini, pihak surety bertanggung jawab terhadap semua kelalaian pihak principal. Artinya, setiap kerugian pihak oblige akibat kesalahan pihak principal akan dibayar oleh surety.
5.    Insurance, adalah metode paling umum dalam memindahkan risiko. Dengan membeli asuransi, maka tertanggung memindahkan konsekuensi finansial atas kerugian kepada penanggung.

Di Indonesia, asuransi penerbangan secara yuridis pertama kali diatur dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1964 Tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang, disusul dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 Tentang Penerbangan yang sudah mengalami perubahan menjadi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan, Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pelaksanaan Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 28
Tahun 1965.16
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1964 Tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang, telah mengeluarkan ketentuan tentang sistem jaminan sosial (social security) terhadap penumpang pesawat udara yang mengalami kecelakaan yang biasa disebut dengan asuransi Jasa Raharja. Setiap penumpang pesawat udara diwajibkan membayar iuran melalui perusahaan penerbangan yang mengalami kecelakaan untuk menutup kerugian yang diderita karena kematian dan cacat tetap akibat kecelakaan pesawat udara, hal ini terdapat di dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1964 Tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang. Dalam penjelasannya, dikatakan bahwa semakin meningkatnya kemajuan teknik yang modern dalam penghidupan manusia, maka akan semakin meningkat juga risiko yang dihadapi dalam angkutan yang
menyebabkan       kecelakaan       pesawat      udara,      karena      itu     masyarakat       perlu
perlindungan. Mengingat keadaan ekonomi dan keuangan negara belum mengizinkan, maka jaminan sosial perlu diusahakan secara gotong royong melalui dana yang terhimpun dari iuran wajib yang dikenakan kepada penumpang pesawat udara.
Sebagai peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1964, maka telah dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pelaksanaan Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang. Berdasarkan Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965, setiap penumpang pesawat udara nasional diwajibkan membayar iuran wajib dana kecelakaan penumpang yang dibayarkan bersama-sama pada saat pembayaran tiket penumpang, dan nantinya iuran wajib tersebut akan disetorkan kepada PT Asuransi Jasa Raharja setiap bulannya. Tidak ada penjualan tiket pesawat udara tanpa adanya pembayaran iuran wajib dana kecelakaan penumpang pesawat udara. Dengan demikian, setiap penumpang pesawat udara yang sudah memiliki tiket, secara otomatis sudah termasuk membayar asuransi wajib dana kecelakaan pesawat udara.

Pelaksanaan Perjanjian Asuransi Penumpang Dalam Pengangkutan Udara Pada
PT Aasuransi Jasa Raharja Cabang Medan

Pasal 2 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1964 menjelaskan bahwa hubungan hukum pertanggungan wajib kecelakaan penumpang tercipta antara pembayar iuran dan penguasa dana. Berdasarkan hal ini, dapat dipahami dari segi hukum asuransi bahwa, penguasa dana berkedudukan sebagai penanggung dan pembayar iuran berkedudukan sebagai tertanggung. Penguasa dana sebagai penanggung memiliki tanggung jawab dalam bentuk memikul risiko kecelakaan yang mungkin dialami oleh pembayar iuran sebagai tertanggung. Penguasa dana sebagai penanggung ditentukan dalam Pasal 1 huruf e dan huruf f pada Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pelaksanaan Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang. Menurut ketentuan pasal tersebut, pertanggungan adalah hubungan hukum antara penanggung, yaitu Perusahaan Negara (menurut Undang-Undang Nomor 19 Prp Tahun 1960 Tentang Perusahaan Negara), khusus yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk itu, yang bernama PT Asuransi Jasa Raharja, dan dengan penumpang alat angkutan umum yang sah (tertanggung).
Pembayar iuran sebagai tertanggung diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1964 Tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang, yang menentukan bahwa setiap penumpang yang sah dari kendaraan bermotor umum, kereta api, pesawat terbang perusahaan nasional, dan kapal perusahaan perkapalan/pelayaran nasional, wajib membayar iuran melalui pengusaha/pemilik perusahaan yang bersangkutan untuk menutup akibat keuangan disebabkan kecelakaan penumpang dalam perjalanan. Akan tetapi, penumpang kendaraan bermotor umum dalam kota dibebaskan dari pembayaran iuran wajib.
Kendaraan bermotor umum adalah setiap kendaraan yang digerakan oleh mesin, yang digunakan untuk mengangkut barang dan/atau orang, dengan memungut bayaran terhadap orang yang menggunakannya. Berdasarkan ketentuan ini, sudah jelas bahwa yang berkedudukan sebagai tertanggung adalah setiap penumpang yang sah, yang wajib membayar iuran melalui perusahaan angkutan yang bersangkutan, kecuali penumpang angkutan dalam kota.
Pasal 11 Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965 Tentang Ketentuan- Ketentuan Pelaksanaan Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang menentukan bahwa besarnya pembayaran ganti kerugian pertanggungan dalam hal kematian, cacat tetap, maksimum penggantian biaya-biaya perawatan dan pengobatan dokter serta penggantian biaya penguburan, ditentukan oleh Menteri Keuangan.
Dalam Pasal 10 ayat 3 Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pelaksanaan Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang, hanya menjelaskan tentang besarnya jumlah ganti rugi secara persentase saja. Jadi, dapat ditarik kesimpulan bahwa ketentuan pemberian jumlah ganti rugi dalam Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965 Tentang Ketentuan- Ketentuan Pelaksanaan Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang masih belum konkret atau masih belum secara jelas diterangkan.
Namun, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1995 Tentang Angkutan Udara, besarnya jumlah ganti rugi yang akan diberikan kepada penumpang angkutan udara, sudah secara jelas tertulis berapa besar rupiahnya. Hal ini dapat kita lihat di dalam Pasal 43 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1995 Tentang Angkutan Udara.
Menurut Pasal 16 Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965, jangka waktu tuntutan ganti kerugian pertanggungan yang diperbolehkan untuk diajukan kepada PT Asuransi Jasa Raharja setempat dengan atau tanpa perantaraan pengusaha atau pemilik alat angkutan penumpang umum yang bersangkutan adalah 6 (enam) bulan sesudah terjadi kecelakaan. Untuk pembuktian keabsahan suatu tuntutan ganti kerugian pertanggungan, wajib diserahkan surat-surat bukti, sebagaimana
yang telah ditentukan dalam Pasal 17 berikut ini :
a. Dalam hal kematian:
1.    Proses verbal polisi lalu lintas atau lain yang berwenang tentang kecelakaan yang telah terjadi dengan alat angkutan umum yang bersangkutan, yang mengakibatkan kematian pewaris penuntut.
2.    Keputusan hakim atau pihak berwajib lain yang berwenang tentang pewarisan yang bersangkutan.
3.    Surat-surat keterangan dokter dan bukti lain yang dianggap perlu untuk pengesahan fakta kematian yang terjadi.
b. Dalam hal cacat tetap atau cedera:
1.    Proses verbal polisi lalu lintas atau lain yang berwenang tentang kecelakaan yang telah terjadi dengan alat angkutan penumpang umum yang bersangkutan, yang cacat/cedera pada penuntut.
2.    Surat keterangan dokter tentang jenis cacat tetap/cedera yang telah terjadi sebagai akibat kecelakaan tersebut.
3.    Surat bukti lain yang dianggap perlu untuk pengesahan fakta cacat tetap/cedera yang terjadi.
Apabila penanggung (Direksi PT Asuransi Jasa Raharja) telah memperoleh keyakinan tentang keabsahan tuntutan secara lain dari yang disebutkan di atas, pembayaran ganti kerugian pertanggungan dapat pula dilakukan berdasarkan surat-surat bukti dan kenyataan-kenyataan lain (Pasal 17 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965). Setelah pembayaran ganti kerugian dilaksanakan, penanggung (Direksi PT Asuransi Jasa Raharja) tidak mempunyai kewajiban apa pun lagi untuk melakukan pembayaran selanjutnya (Pasal 18 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965). Dengan kata lain, asurans sosial kecelakaan penumpang sudah berakhir.
Tidak semua ganti kerugian atas suatu pertanggungan akan diberikan, adakalanya hak atas ganti kerugian pertanggungan menjadi gugur, apabila :
1.    Tuntutan pembayaran ganti kerugian pertanggungan tidak diajukan dalam waktu enam bulan setelah terjadinya kecelakaan yang bersangkutan;
2.    Tidak diajukan gugatan terhadap PT Asuransi Jasa Raharja pada pengadilan perdata yang berwenang dalam waktu enam bulan, sesudah tuntutan pembayaran ganti kerugian pertanggungan ditolak secara tertulis oleh Direksi;
3.    Hak atas ganti kerugian pertanggungan tidak direalisasikan dengan suatu penagihan kepada PT Asuransi Jasa Raharja atau kepada instansi pemerintah atau pihak lain yang ditunjuk, dalam waktu tiga bulan setelah hak tersebut diakui ditetapkan atau disahkan.
Pada dasarnya, pihak PT Jasa Raharja cabang Medan tidak pernah melakukan penolakan klaim santunan penumpang angkutan udara terhadap kecelakaan yang terjadi, apabila hal tersebut telah memenuhi ketentuan yang telah berlaku. Namun, adakalanya pihak PT Jasa Raharja juga berhak untuk menolak pembayaran ganti kerugian pertanggungan, selama tertanggung belum cukup membuktikan dirinya sebagai pihak yang berhak atas pemberian ganti kerugian tersebut, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. PT Jasa Raharja juga dapat menolak pembayaran ganti kerugian pertanggungan, apabila risiko yang terjadi merupakan salah satu dari risiko-risiko yang dikecualikan dalam peraturan perundang-undangan untuk dapat menerima pembayaran santunan ganti kerugian.
Atas dasar perjanjian manifest dan atas dasar kebijaksanaan serta rasa duka dari PT Jasa Raharja, maka PT Jasa Raharja tidak hanya memberikan santunan ganti rugi kepada pihak yang memiliki tiket sah atas namanya sendiri, melainkan juga kepada pihak yang memiliki tiket sah bukan atas namanya sendiri juga akan mendapatkan santunan ganti rugi dari pihak PT Jasa Raharja. Penumpang angkutan udara yang memakai tiket atas nama orang lain untuk melakukan perjalanan dengan angkutan penerbangan disebut dengan Pax Manifest. Berdasarkan hal di atas, maka dapat disimpulkan bahwa perbedaan nama antara yang terdapat pada Kartu Tanda Penduduk dengan yang terdapat pada tiket penumpang angkutan udara, tidak mempunyai pengaruh terhadap asuransi yang akan diberikan oleh PT Jasa Raharja, tetapi hanya mempunyai pengaruh pada proses check-in yang dilakukan di dalam bandara, karena petugas bandara akan menyesuaikan antara nama penumpang yang tertera di Kartu Pengenal dengan nama penumpang yang tertera di tiket.


DAFTAR PUSTAKA


Buku-Buku
Ali, A. Hasymi. 2005. Pengantar Asuransi. Jakarta: Bumi Aksara.
Amirudin dan H. Zainal Asikin. 2004. Pengantar Metode Penelitian Hukum.
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Arsyad, Nurhaida. 2002. Asuransi Kecelakaan di Indonesia. Medan: Akademi
Keuangan dan Perbankan "PERBANAS" (A.K.P. "PERBANAS").
Martono, H.K. dan Amad Sudiro. 2011. Hukum Angkutan Udara Berdasarkan
UU RI No. 1 Tahun 2009. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Muhammad, Abdulkadir. 2003. Hukum Asuransi Indonesia. Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti.
PT Asuransi Jasa Raharja. 2011. Kumpulan Undang-Undang Jasa Raharja.
Jakarta: PT Asuransi Jasa Raharja.
Purba, Radiks. 2009. Mengenal Asuransi Angkutan Darat dan Udara. Jakarta:
Djambatan.
Rastuti, Tuti. 2011. Aspek Hukum Perjanjian Asuransi. Yogyakarta: Pustaka
Yustisia.
Sastrawidjaja, Man Suparman. 2006. Aspek-Aspek Hukum Asuransi, dan Surat
Berharga. Bandung: P.T. Alumni.
Satria, Salusra. 2003. Pengukuran Kinerja Keuangan Perusahaan Asuransi
Kerugian di Indonesia Dengan Analisis Rasio Keuangan "Early Warning System". Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Peraturan Perundang-undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1964 Tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan
Penumpang 


Nama Kelompok :
1.      Kartika Ratna Sari W (24212934)
2.      Septa Skundarian (26212921)
3.      Shintya Permatasari ( 26212989)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar